Multiple Intellegences System


        Apa sih Multiple Intelligences System itu? Apa bedanya dengan sistem sebelumnya? Apa unggulnya? Serta masih banyak lagi pertanyaan sebagainya. Itulah yang muncul dari benak masyarakat ketika melihat pertama kali ada sekolah yang menerapkan Multiple Intelligences System (Sistem Kecerdasan Majemuk). Dimana sebelumnya mereka sudah terbiasa dengan sekolah yang cenderung menerapkan sistem yang menyamaratakan kecerdasan siswa. Siswa seakan-akan dipaksa untuk mengikuti sistem pendidikan yang bukan merupakan gayanya. Sehingga banyak sekali siswa yang tidak nyaman bersekolah, sulit memahami materi, bahkan sampai benci dengan sekolah.
Padahal pendidikan merupakan hal terpenting dalam hidup manusia. Menuntut ilmu sangatlah dianjurkan dalam agama Islam, bahkan sejak manusia lahir hingga mati. Ayat Al-Qur’an yang pertama kali turun adalah Iqra’ yang artinya “Bacalah”. Kemudian Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda, “Kejarlah ilmu sampai ke negeri China!”. Hal tersebut menunjukkan bahwa menuntut ilmu setinggi-tingginya sangatlah penting bagi kehidupan manusia.
         Oleh karena itu, muncullah Multiple Intelligences System yang dicetuskan oleh Dr. Howard Gardner dari Harvard University untuk membantu menyelesaikan permasalahan-permasalahan di atas. Dengan cara yang lebih menarik dan adil sehingga semua bisa merasakan pendidikan sesuai jenis kecerdasan masing-masing.

Human Intelligence
       Inteligensi sering diartikan dengan kecerdasan. Istilah “cerdas” sendiri sudah lazim dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak sekali ahli yang berpendapat mengenai pengertian istilah inteligensi. Salah satunya adalah Freeman (1962) sebagaimana dikutip oleh Nyanyu Khodijah (2014: 90) yang memandang inteligensi sebagai kapasitas untuk memadukan pengalaman dan menghadapi situasi baru dalam pengertian yang tepat dan respons yang adaptif, kapasitas untuk belajar, kapasitas untuk melaksanakan tugas-tugas psikologis secara intelektual, dan kapasitas untuk berpikir abstrak.
Setelah melakukan penelitian tentang kecerdasan manusia, Dr. Howard Gardner kemudian mencetuskan teori Multiple Intelligence System karena pada dasarnya kecerdasan  manusia itu berbeda-beda, yakni kecerdasan Logis-Matematis, Bahasa, Musikal, Spasial, Gerak-Kinestetis, Interpersonal, dan Intrapersonal. Dimana masing-masing kecerdasan memiliki cara, kemampuan, maupun hasil akhir yang berbeda-beda.
Kecerdasan Logis-Matematis memiliki kapasitas terhadap logika maupun matematis yang akan menghasilkan ilmuwan dan ahli ilmu pasti. Kecerdasan Bahasa sangat sensitif terhadap suara, ritmis, kata, dan bahasa yang akan menghasilkan seorang penyair maupun jurnalis. Kemudian kecerdasan Musikal, dia sangat sensitif pada warna nada sehingga cocok untuk menjadi seorang komposer. Lalu ada kecerdasan Spasial, dimana dia memiliki keakuratan dalam keruangan sehingga cocok menjadi seorang navigator dan pemahat. Kecerdasan selanjutnya adalah Gerak-Kinestetis yang unggul dalam segi olah tubuh sehingga cocok menjadi seorang atlet maupun penari. Kemudian ada kecerdasan Interpersonal yang mahir dalam memahami serta memengaruhi orang lain, orang dengan kecerdasan ini bisa menjadi seorang terapis, salesman, maupun motivator. Serta yang ketujuh ada kecerdasan Intrapersonal, dia mampu mengetahui kekuatan seseorang, keinginannya, kelemahannya, maupun kecerdasannya, sehingga orang dengan tipe ini mampu menjadi seorang yang mempunyai pengetahuan yang besar serta akurat. (Howard Gardner & Thomas Hatch, 1989 : 6).
Berdasarkan penelitian di atas, maka kemudian faktor pendidikan yang menerapkan metode Multiple Intelligense System sangat dibutuhkan untuk mendukung dan mengembangkan kemampuan anak sesuai kecerdasan masing-masing, baik dari lembaga pendidikan, keluarga, maupun masyarakat di sekitarnya. Sehingga potensi yang dimilikinya mampu dibangun secara optimal dan sejalur.
Potret MIS
            Dengan MIS, semua siswa dan guru terjun langsung dalam pembelajaran yang lebih sering di luar kelas, entah dengan permainan, kuis, diskusi, menyanyi, menari, dan cara lain yang menarik sehingga siswa merasa enjoy. Dengan pembelajaran yang unik, menyenangkan, dan siswa terlibat langsung menjadikan siswa tidak jenuh mengikuti pelajaran yang seperti biasanya, hanya duduk, diam, dan mendengarkan guru mengoceh di depan kelas.
            Namun dalam sebuah sistem pendidikan, pastilah ada sisi negatif dan juga kritikan-kritikan terhadapnya. Salah satu dampak negatifnya adalah siswa menjadi malas untuk mengerjakan soal ujian akhir yang pada dasarnya membosankan. Lalu Thomas Armstrong (2009: 203) juga mengungkapkan bahwa sedikitnya telah ada sedikitnya tiga kritikan utama yang diterimanya tentang teori MI yang disebabkan oleh adanya miskonsepsi akan teori ini, yakni teori MI memiliki sedikit dukungan empiris, tidak ada dukungan penelitian solid yang menunjukkan MI hadir di dalam ruang kelas, dan yang paling keras adalah teori MI melakukan pembodohan di dalam kurikulum untuk membuat siswa percaya bahwa mereka pintar.
            Namun meskipun demikian, setidaknya kita lebih bijak dalam menyikapi hal-hal tersebut, dimana proses pendidikan dalam membentuk karakter anak-anak sebagai generasi penerus bangsa lebih penting untuk dipikirkan, daripada memikirkan hasil ujian tulis yang belum tentu itu menentukan watak dan karakter anak. Karena yang terpenting dalam kelanjutan pembangunan generasi bangsa adalah watak dan karakter anak yang hanya diperoleh dari cara mereka dididik, baik oleh lingkungan sekolah maupun lingkungan keluarga dan masyarakat. Kalau mereka tidak dididik sesuai dengan kemampuan mereka, akan sulit bagi mereka untuk mengerti didikan yang diberikan pada mereka.
            Munif Chatib (2010: 18) memberikan secuil potret anak-anak yang semula dianggap sebagai sumber masalah baik di sekolah maupun di rumah, namun setelah mendapat sentuhan pembelajaran dengan MI mereka justru tumbuh menjadi anak yang bermanfaat dan sangat didambakan. Salah satunya adalah Bela, siswi kelas 2 SD. Selama 5 bulan pertama di kelas 1, dia tidak pernah mau masuk kelas. Meskipun dia telah dibujuk untuk masuk kelas tetap tidak mau, dia lebih memilih bermain sepeda dan jajan di kantin. Seorang guru tertarik untuk mendekati Bela, dia masuk ke dalam dunia Bela dengan cara ikut bermain, saling bercerita, dan sebagainya. Ternyata Bela suka sekali dengan tokoh Barbie dan putri-putri, sehingga dapat disimpulkan bahwa Bela memiliki kecerdasan linguistik, interpersonal dan spasial visual. Akhirnya sang guru mengajak Bela untuk ke kantor, lalu memberikan Bela selembar surat bergambar Barbie dan bercerita padanya. Betapa tertariknya Bela terhadap surat itu, sehingga gurunya berjanji untuk memberikan surat itu jika Bela masuk kelas. Dengan segera Bela masuk kelas dan memberikan perhatian pada pelajaran. Karena kedekatan Bela pada gurunya itu, para guru yang lainnya sampai menjuluki Bela adalah anak emas guru itu. Seiring berjalannya waktu, Bela mulai aktif dalam beraktivitas di sekolah dan betah belajar dalam kelas. Bahkan potensinya itu membawa Bela meraih juara III lomba membuat dan membaca puisi saat peringatan Isro’ Mi’roj di sekolahnya.
            Dari kenyataan tersebut dapatlah kita lihat betapa berpengaruhnya MIS terhadap perkembangan anak. Anak-anak yang bermasalah tidak ditinggalkan, tetapi justru didekati, lalu dibimbing sesuai dengan kemampuan dan kecerdasan mereka. Hal ini sangat jauh dengan sistem pembelajaran pada umumnya saat ini. Guru mengajar seakan hanya mementingkan hidupnya, bukan keberhasilan peserta didik. Guru tidak mau tahu terhadap kekurangan siswa. Hal inilah yang berusaha diubah oleh MIS sehingga guru lebih perhatian pada kekurangan maupun kelebihan peserta didik demi mencetak generasi penerus bangsa yang handal dan mampu dibanggakan.
            Demikian sedikit ulasan tentang Multiple Intelligence System. Sedikit demi sedikit Multiple Intelligence System mulai mampu menjawab berbagai permasalahan yang hadir dalam proses pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu, marilah kita satukan tekad demi membangun pendidikan Indonesia yang lebih manusiawi, salah satunya dengan penerapan Multiple Intelligence System tersebut. Karena pada dasarnya anak-anak adalah generasi penerus bangsa, kalau anak-anak tidak mau sekolah, bagaimana dengan bangsa kita kelak?

DAFTAR PUSTAKA
Howard Gardner dan Thomas Hatch. 1989. “Multiple Intelligences Go to School: Educational Implications of the Theory of Multiple Intelligences” Educational Researcher. Vol. 18. No. 8. November. Hal. 4-10.

Nyanyu Khodijah. 2014. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pres.

Thomas Armstrong. 2009. Multiple Intelligences in The Classroom Third Edition (terj). Jakarta Barat: Indeks.

Munif Chatib. 2010. Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis Multiple Intelligence di Indonesia. Bandung: Khaifa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Sistem Pemungutan Pajak

Dunia Muda